SRAGEN – Kilasfakta.com – Sejenak tim Aliansi Indonesia Soloraya ini melakukan penelusuran wisata religi jejak sejarah masa majapahit, perjalanan dimulai penelusuran dari pemandian air hangat bayanan menuju lereng Gunung Gamping, Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen dimakam Joko Budug, Kamis malam Jum’at Kliwon beberapa waktu lalu.
Suasana hening terasa saat tim tiba di sebuah gubuk gelap di Dusun Gamping, Desa Jambeyan, Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen. Gubuk tua itu berada tak jauh dari Sendang Gampingan yang memiliki sumber mata air yang hangat.
Saat bersamaan juga ada beberapa orang datang dilokasi untuk berziarah, tim juga langsung bertemu dengan Mbah Wirotamin selaku juru kunci makam Joko Budug, lalu berbincang dan melakukan tanya jawab.
Sambil melekan ngopi bareng, Mbah Wiro sembari mencuplik sejarah masa lampau juga cerita dari beberapa sumber, bahwa sosok Joko Budug sebenarnya bernama lengkap Raden Haryo Bangsal Putra Raja dari kerajaan Majapahit dahulu. Asal-usul petilasan Ki Joko Budug sudah menjadi cerita rakyat yang berkembang di masyarakat, kemudian cerita seputar disini bermula jaman dulu ketika Ki Joko Budug pergi dari kerajaan untuk bertualang.
Dikisahkan dari babad tanah Jawa dan cerita turun temurun, dahulu suatu ketika Joko Budug / R. Haryo Bangsal pergi meninggalkan dari kerajaan Majapahit, dalam perjalanan sampailah di sebuah Desa Bayem Taman, letaknya daerah Sine, Ngawi. Dalam pengembaraan Joko Budug sempat singgah di salah satu rumah wanita sebatang kara, disebutlah Mbok Rondo Dadapan namanya, disitulah sampai beberapa waktu lamanya tinggal bersama hingga dianggap seperti anaknya sendiri.
Diketahui pada waktu itu, didekat wilayah Desa Bayem Taman pada masanya juga telah berdiri adanya sebuah Kadipaten, waktu itu disebut Kerajaan Pohan.
Diceritakan, bahwa sosok Raja Pohan penguasa kerajaan itu mempunyai hobby atau kesukaan berkebun, salah satu kegemarannya yaitu menanam pohon pisang Pupus Cinde Mas, kebetulan letak bercocok tanamnya dahulu di Gunung Liliran.
Seiringnya waktu, kala itu kebetulan musim kemarau tiba dan tempat itu pun gersan. Banyak pohon pisang Pupus Cinde Mas yang menjadi kesukaan Raja Pohan pun layu kering melanda semua tanamannya. Atas kegundahan itu, kekhawatiran akhirnya sering menyelimuti hati pikiran Raja Pohan. Sebagai sosok yang memiliki kuasa, tidak mustahil bagi Raja Pohan mengadakan suatu sayembara, yang isinya“Barang siapa yang bisa menolong mengalirkan sebuah air ke lahan pohon pisang Pupus Cinde Mas kesukaannya itu dapat tumbuh segar kembali, maka apabila yang mampu seorang laki-laki maka akan dijodohkan dengan putrinya yang cantik jelita. Kemudian apabila yang mampu seorang wanita, maka akan dijadikan oleh raja sebagai sedulur sinorowedi/ anak angkat.”
Kebetulan kala itu sampai ke telinga Joko Budug, dia juga mengetahui bahwa Raja Pohan telah mengadakan sayembara tersebut. Setelah dipikir-pikir dengan matang, dari sinilah akhirnya Joko Budug bertekad bulat mengikuti sayembara di Kerajaan Pohan, dan tak dilupakan Joko Budug sebelum beranjak maju juga memohon do’a restu daripada Mbok Rondo Dadapan. Biarpun dengan berberat hati, saat itu juga Mbok Dadapan pun akhirnya ikhlas merestui permintaan Joko Budug yang kemudian mengikuti Sayembara tersebut.
Alhasil, singkat cerita dengan kadigdayan yang dimiliki Joko Budug, melalui ilmu gaib dia pun berhasil membuat terowongan dari dalam dasar tanah dengan tangan saktinya. Joko Budug berhasil membuat jalur berlubang menembus dari salah satu gunung sehingga air bisa mengalir tembus. Sebuah lubang yang membentuk seperti terowongan itu pun jalurnya pun langsung menghubungkan dari Kali Sawur menuju area lahan yang ditanami pohon pisang kesayangan yaitu pupus Cinde Mas milik Raja Pohan itu.
“Diketahui, bahwa terowongan bawah tanah itu masih bisa dijumpai hingga sekarang. Ujung terowongan itu berada di Kali Sawur yang memisahkan wilayah Sragen, Jawa Tengah dengan wilayah Ngawi, Jawa Timur,” jelasnya.
Tokoh muda senior didunia Media Boeng Awi pun menambahkan, pada versi lain juga menyebutkan bahwa dengan adanya terowongan yang dibuat Joko Budug itu, pohon pisang kesayangan milik raja itu kembali segar tumbuh dan tidak jadi layu lagi.
Sesuai perjanjian disayembara, Raja Pohan pun berencana mengawinkan Joko Budug dengan putrinya. Joko Budug pun tentunya mendapat hadiah sosok sang Putri yang cantik jelita. Akan tetapi niat hati Raja pun menjadi bimbang sehubungan melihat kondisi fisik Joko Budug itu, dimana badannya yang rata dengan adanya penyakit kulit/gudig yang menjijikkan.
Pada akhirnya, Raja Pohan mempunyai ide gagasan sesuatu, dimana memerintahkan Patih nya untuk mengajak Joko Budug agar memandikan/mbilasi di sebuah Sendang Gampingan, sekarang Dukuh Gamping.
Sehingga sang Patih pun melaksanakan perintah dari sang Raja. Akan tetapi apes terjadi disini, dimana sosok Sang Patih ini mempunyai kekurangan pendengarannya atau tuli, sehingga perintah Sang Raja yang bahasanya “Mbilasi”tadi, tetapi yang diterima atau didengar Sang Patih justru malah“Nelasi”.
Sampai pada waktunya, dari kekurangan fisik atau telinga Sang Patih tersebut akhirnya membuat naas nasib Joko Budug, dalam kondisi lengah Joko Budug langsungdisekat dari belakang hingga tak bernyawa di lokasi Sendang Gampingan itu. Joko Budug pun dihabisi/dibunuh seketika ditempat tersebut.
Seketika, didekat sendang itu pula Sang Patih memerintahkan prajuritnya untuk membuat lubang atau liang kubur. Lubang pun dibuat panjang lebar seukuran orang biasa pada umumnya.
Dari sini keanehan muncul, dimana ketika jasad Joko Budug hendak di liang kubur yang dibuat itu. Setiap jasad Joko Budug mau dimasukkan liang lahat, selalu terjadi ukuran tempat tidak muat dimasuki hingga beberapa kali lamanya. Selain jasadnya selalu tidak bisa masuk lubang kubur, keanehan makin terjadi hingga penjangnya ukuran liang ditambah mencapai 11 (sebelas) meter, namun tidak cukup juga dimasuki jasad.
“”Liang lahat itu tidak cukup besar untuk menampung jasad Joko Budug. Meski panjang liang lahat ditambah menjadi 11 meter, jasad Joko Budug tetap tidak bisa dimasukkan. Kemudian, dipanggillah spiritual keraton untuk mencari jawaban atas kejanggalan yang terjadi, dan menurut wangsit yang didapat sepepuh kerajaan, terdapat jawaban bahwa Joko Budug bersedia dimakamkan bilamana penguburannya berada satu liang dengan membawa calon istrinya yang tak lain putri raja yang dimenangkan dalam sayembara nya tersebut, ” terang Awi.
Pada waktu itu, masih menurut Awi, dipanggillah sesepuh Kerajaan untuk mendapatkan solusi. Hingga dalam wangsit jawaban agar Joko Budug bersedia dimakamkan asal bersama Calon Istrinya (anak Raja Pohan) di gunung Liliran tersebur bersama-sama. Dan sejak saat itu, Joko Budug tidak jadi dimakamkan di dekat Sendang Gampingan. Jasadnya kemudian dipindah ke Gunung Liliran yang berada tak jauh dari Kerajaan Pohan.
Berita kematian Joko Budug pada akhirnya didengar pula sampai ke Raja Majapahit. Diceritakan singkat entah alasannya apa, pada akhirnya Raja Majapahit kemudian memerintahkan orang-orangnya agar memindahkan jasad Joko Budug dari Gunung Liliran ke Kerajaan Majapahit.
”Jadi, petilasan Ki Joko Budug itu ada di Dusun Gamping dan Gunung Liliran. Sampai sekarang, dua tempat itu biasa menjadi rujukan warga untuk berziarah,” imbuhnya.
Demikian cerita singkat Makam Joko Budug alias R. Haryo Bangsal dimana terletak di Desa Gampingan yang sekarang di sebut dukuh Gamping atau di Gunung Liliran, disitu hanya tinggal petilasan makam saja. Sampai sekarang Petilasan Makam Joko Budug (R. Haryo Bangsal) yang berada di Gamping maupun di Gunung Liliran banyak pengunjung yang ziarah terutama pada malam Jum’at Legi atau saat bulan Suro. (Hendro)