PEKALONGAN – Kilasfakta.com, Pada tanggal 3 Oktober Kota Pekalongan memiliki makna yang sangat mendalam. Tanggal ini diperingati sebagai momentum sakral, ketika rakyat Pekalongan dengan keberanian yang luar biasa bangkit mempertahankan kedaulatan, berpuncak pada peristiwa heroik yang dikenal

sebagai Peristiwa Kebon Rojo.
Monumen Juang (Kebon Rojo) Kota Pekalongan Saksi bisu Peristiwa 3 Oktober 2025,
Peristiwa ini tak hanya sekadar catatan sejarah perebutan kekuasaan, melainkan sebuah manifestasi ketegasan sikap bangsa yang menolak penjajahan pasca Proklamasi Kemerdekaan.
Gaung Kemerdekaan di Kota Batik (Pekalongan).
Meskipun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia telah dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, gaungnya di Pekalongan terasa sunyi senyap. Rasa takut masih menyelimuti masyarakat karena keberadaan tentara Jepang yang masih bersenjata lengkap.
Berita kemerdekaan menyebar dalam bisik-bisik, hingga akhirnya dua hari setelah Proklamasi, kabar resmi dari Jakarta datang.

Pesan dari Bung Karno dan Bung Hatta agar Angkatan Muda menyebarluaskan berita proklamasi dan bersikap waspada menjadi pemantik semangat.
Dengan bantuan para pemuda pengurus BPKKP (Badan Penolong Keluarga Korban Perang), penyebaran berita kemerdekaan di Pekalongan berjalan maksimal.
Keberanian pun tumbuh, menghilangkan ketakutan terhadap Jepang.
Kegembiraan ini diwujudkan dengan berdirinya Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Karesidenan Pekalongan pada 28 Agustus 1945, dipimpin oleh Dr. Sumbadji.
KNID kemudian menganjurkan pembentukan Badan Kontak untuk menampung aspirasi rakyat dan mengoordinasikan langkah perebutan kekuasaan.
Tiga kelompok utama
1. KNID (dipimpin Dr. Sumbadji),
2. BPKKP (dipimpin Dr. Ma’as), dan
3. Angkatan Muda (dipimpin Mumpuni dan Margono Jenggot)
Tiga Kelompok Utama bersatu melakukan upaya pemindahan kekuasaan dari tangan Jepang kepada Indonesia dan melakukan perundingan. Pihak Jepang akhirnya setuju untuk berunding.
Perundingan yang semula dijadwalkan pada 1 Oktober 1945 harus diundur hingga 3 Oktober 1945 pukul 10.00 WIB, bertempat di Gedung Kempetai (markas polisi militer Jepang). Penundaan dua hari inilah yang memicu kemarahan rakyat.
Ribuan warga Pekalongan berkumpul mengepung Gedung Kempetai, tepatnya di Lapangan Kebon Rojo, menjadi saksi ketegangan yang memuncak.
Mewakili masyarakat, Mr. Besar Mertokoesoemo mendesak perwakilan pemerintah Jepang dengan tiga tuntutan tegas :
1. Jepang harus segera menyerahkan kekuasaannya kepada rakyat Indonesia secara damai.
2. Melakukan pelucutan senjata terhadap seluruh tentara Jepang.
3. Mr. Besar menjamin keamanan tentara Jepang setelah kekuasaan diserahkan.
Namun, tidak satu pun tuntutan ini disetujui oleh perwakilan Jepang. Kealotan perundingan di dalam gedung semakin membakar semangat massa di luar.
Dalam momen yang penuh emosi, beberapa pemuda tanpa gentar nekat menurunkan bendera Jepang yang berkibar di Gedung Kempetai, menggantinya dengan Sang Merah Putih.
Sayangnya, aksi heroik ini dibalas dengan tembakan brutal tentara Jepang, menewaskan beberapa pemuda Pekalongan tersebut.
Insiden penembakan ini menjadi pemicu yang tak terhindarkan. Tanpa komando, ribuan rakyat yang bersenjata seadanya menyerang serdadu Jepang. Perang pun meletus.
Dalam pertempuran sengit tersebut, tercatat 37 rakyat Pekalongan gugur sebagai kusuma bangsa, dan di makamkan di TMP Perwira Reksa Negara, Jalan Kusuma Bangsa Kecamatan Pekalongan Utara.
dan beberapa pemuda ada yang menderita cacat.
Monumen dan Nilai Keteladanan
Untuk mengenang pengorbanan suci ini, didirikanlah monumen Juang di Lapangan Kebon Rojo. Gedung Kempetai sekarang diubah menjadi Masjid Syuhada (Pejuang yang mati Syahid). Di depan masjid, terdapat patung tiga bambu runcing dengan sepuluh ruas yang melambangkan tanggal dan bulan bersejarah, 3 Oktober.
Hingga kini, setiap tanggal 3 Oktober, upacara peringatan dan aksi teatrikal selalu diadakan di depan monumen tersebut. Peristiwa Kebon Rojo adalah cermin nyata bahwa kemerdekaan tidak datang begitu saja, melainkan direbut dengan darah, keringat, dan keberanian kolektif.
Semangat juang masyarakat Pekalongan yang rela berkorban jiwa dan raga demi kedaulatan bangsa patut kita teladani. Pengorbanan para syuhada di Kebon Rojo adalah warisan tak ternilai. Sudah menjadi kewajiban kita, generasi penerus Kota Pekalongan, untuk meneruskan semangat ini bukan lagi dengan senjata, tetapi dengan berkarya, berinovasi, dan menjaga marwah kota Pekalongan. (Kl/Kf)