OLEH: Khoeri Abdul Muid, S.Pd.,M.Pd.

(Kepala Sekolah SD Negeri Koripandriyo, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati)

 

Filsafat ilmu merupakan telaah secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Beberapa pertanyaan tersebut meliputi landasan ontologis, aksiologis dan epistemologis. Khusus landasan epistemologis ialah menyangkut bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu. Oleh karena itu epistemology sangat relevan pada ilmu belajar-mengajar (ilmu keguruan).

Bahasan perspektif epistemology untuk membekali para pemangku kepentingan khususnya para guru sebagai bagian dari Unit Pelaksana Teknis bidang Pendidikan terlebih dalam konteks memahami dan melaksanakan kurikulum baru adalah sangat penting.

Sebagaimana diketahui menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim pada Jumat 11 Februari 2022 meluncurkan Kurikulum Merdeka. Dalam laman kurikulum.kemendikbud.go.id dikatakan bahwa karakteristik utama dari Kurikulum Merdeka adalah: pertama, pembelajaran berbasis projek untuk pengembangan soft skills dan karakter sesuai profil Pelajar Pancasila. Kedua, fokus pada materi esensial sehingga ada waktu cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi. Dan, ketiga, fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang terdiferensiasi sesuai dengan kemampuan peserta didik dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan local.

Ketiga karakteristik utama Kurikulum Merdeka dalam khasanah dunia ilmu keguruan dan ilmu pendidikan sebenarnya tidak ada hal yang terlalu baru. Hanya saja dalam Kurikulum Merdeka ketiga hal tersebut lebih diaksentuasi.

Kembali pada perspektif bahasan tulisan ini bahwa dalam epistemologi terdapat beberapa konsep, diantaranya ialah rasionalisme, empirisme, positivisme, dan kritisisme. Pertanyaannya ialah dalam perspektif ini di manakah posisi epistemology Kurikulum Merdeka?

Rasionalisme. Rasionalisme adalah aliran filsafat yang berpandangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan kebenaran. Prinsip atau ciri rasionalisme, menekankan akal pikiran manusia. Penolakan pada perasaan, tradisi, dogma dan otoritas. Sekularisasi yang berdampak demitologisasi sejarah, alam, dan pemisahan antara urusan negara dan urusan agama. Contoh aplikasi rasionalisme dalam pendidikan diantaranya dapat dilihat dalam pembelajaran logika matematika. Contoh: jika A lebih besar dari B, dan B lebih besar dari pada C, maka A lebih besar dari pada C. Hal itu adalah benar tanpa usah terlebih dulu melihat pada contoh-contoh konkrit. Misal soal besar mobil, besar kota dsb. Rasionalisme sangat membantu pada penanaman konsep yang bila melalui percobaan inderawi langsung, sangat berbahaya.

Empirisme. Empirisme ialah aliran filsafat yang menekankan pengalaman sebagai modal utama untuk mendapatkan pengetahuan dan menganggap akal sebagai metode kedua setelah pengalaman telah dicapai. Prinsip atau ciri rasionalisme, bahwa ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami. Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan. Semua yang diketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi. Empirisme sering digunakan dalam pembelajaran yang memungkinkan siswa mengkonstruksi pengetahuannya dengan percobaan inderawi langsung. Tentu saja bila hal demikian tidak membahayakan. Contoh, pada saat mengenalkan macam-macam konsep rasa. Maka pembelajaran bisa melalui fasilitasi siswa mengkonstruksi konsep rasa dengan percobaan mengecap sambal, kecap, garam, jeruk nipis, permen dsb.

Positivisme. Positivisme merupakan aliran filsafat yang dalam ‘pencapaian kebenaran’-nya, bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Prinsip atau ciri positivisme diantaranya: Objektif atau bebas nilai, pengetahuan didapat melalui fakta yang teramati dan terukur, menolak metafisik, semua didasarkan pada data empiric. Dalam dunia Pendidikan, positivisme banyak digunakan dalam pembelajaran IPA (sains). Misalnya, ketika pembelajaran hendak mengajarkan kompetensi mengetahui sifat-sifat cahaya, maka pembelajaran kiranya perlu melalui percobaan-percobaan. Misalnya, dengan berbantuan beberapa alat/bahan seperti cermin, senter, karton berlubang dsb. Sehingga dengan percobaan terbimbing siswa memperoleh data-data empirik. Dan, pada akhirnya mereka bisa menyimpulkan dan mengkonstruksi pengetahuannya bahwa cahaya antara lain bersifat dapat dipantulkan, merambat lurus, dsb.

Kritisisme. Pengertian kritisisme ialah aliran filsafat yang mengkritisi dan men-sintesis faham rasionalisme dan empirisme, yakni bahwa pengenalan manusia terhadap sesuatu diperoleh dari perpaduan antara unsur akal dan pengalaman. Prinsip atau ciri kritisisme, menganggap objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek. Kritisisme menegaskan keterbatasan kemampuan akal manusia untuk mengetahui realitas dan hakikat sesuatu, akal hanya mampu menjangkau gejala dan fenomenanya saja. Dalam kancah pendidikan, kritisisme sering digunakan untuk mendekati hal-hal transcendental (metafisika) dalam pembelajaran. Misalkan tentang konsep keberadaan Tuhan. Bahwa jika hanya menggunakan empirisme maka keberadaan Tuhan tidak akan terbukti, karena Tuhan seolah tidak tertangkap indera manusia. Tapi melalui memadukan antara empirisme dengan rasionalisme maka proses pebelajaran keberadaan Tuhan akan berhasil. Yakni dimulai dari siswa mengindera terbimbing terhadap dirinya, makhluk-makhluk hidup, benda-benda lainnya, lalu dilanjutkan dengan diajak berlogika secara kritis bahwa segala sesuatu ada penyebabnya (penciptanya). Maka siswa akan dapat menyimpulkan bahwa Tuhan merupakan causa prima (penyebab yang tidak disebabkan lagi). Dan, terbuktilah, Tuhan itu ada.

Dari uraian singkat deskripsi filsafat-filsafat di atas dapat dikatakan bahwa selama ini hampir semua kurikulum secara epistemologis menggunakan kelima aliran filsafat tersebut sekaligus, yakni rasionalisme, empirisme, positivisme, dan kritisisme. Hanya saja penggunannya masing-masing dalam skala terbatas. Prinsip yang digunakan adalah eklektif, yakni mengambil sisi positifnya dan membuang sisi negatifnya tentu dalam konteks kebutuhan si pengguna atau si penentu kebijakan kurikulum.

Hanya saja jika kita melihat karakter Kurikulum Merdeka yang pertama di atas, yakni pembelajaran berbasis projek untuk pengembangan soft skills dan karakter sesuai profil Pelajar Pancasila, maka dapat dikatakan kurikulum ini lebih condong berdasar pada filsafat empirisme dan positivisme. Sebab, sebagaimana dirumuskan BPSDM Kemendikbud (2013), pembelajaran berbasis projek adalah metoda pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai media.

Dengan demikian berdasarkan analisis singkat di atas bahwa dalam mengejawantah Kurikulum Merdeka dalam Proses Belajar Mengajar, kita tidak bisa jauh-jauh dari filsafat empirisme dan positivisme dengan tanpa meninggalkan dasar filsafat rasionalisme dan kritisisme, tentunya. (*)

 

Sumber/Bahan yang dibaca:

Baiti, Rosita. (2015). Pemikiran Manusia Dalam Aliran – Aliran Filsafat. Wardah : Jurnal Dakwah dan Kemasyarakatan, 16(1), 85-93. Retrieved from http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/warda/article/view/361

Sanusi, M. (2018). Telaah Epistemologi Positivisme dan Fenomenologi (Sebuah Perbandingan). Jurnal STAIN Kediri. Vol 2 No 1 Hal 1-33. Retrieved from http://jurnal.iainkediri.ac.id/index.php/asketik/article/view/665/412

Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: Penerbit IPB Press.

Tulasi, Dominikus. 2010. Merunut Pemahaman Taksonomi Bloom: Suatu Kontemplasi Filosofis. Humaniora Vol 1 No 2, Oktober 2010 pp 359 – 371

Zhou dan Brown. 2015. Educational Learning Theories. Chapter 10. Spring,https://www.dictio.id/t/apa-yangdimaksud-dengan-empirisme/116337/

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *