SDN Koripandriyo “Manungsung Luhuring Budi” via “Pro Yayang”
Oleh: Khoeri Abdul Muid, M.Pd.
(Kepala UPTD SD Negeri Koripandriyo, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati)
Salah satu visi SD Negeri Koripandriyo adalah terwujudnya warga sekolah yang berbudi pekerti luhur. Hal itu sejalan dengan tagline yang tertulis di logonya: “manungsung luhuring budi” yang artinya menyongsong akhlakul karimah.
Di tengah era pandemi covid-19 implementasi upaya perwujudan visi tersebut mengalami kendala. Penulis selaku Kepala UPTD SD Negeri Koripandriyo dengan analisis SWOT mengggali segala potensi yang dimiliki sekolah dan berinovasi dengan strategi jitu. Di antaranya dengan “memanfaatkan” keberadaan dhalang wayang kulit yang ada di sekitar sekolah yang dalam konteks Perpres 87/2017 termasuk PPK berbasis budaya.
Kegiatan tersebut penulis kemas dalam “Program Sayang Wayang (Pro-Yayang)” dengan rincian sebagai berikut. 1) Memprogramkan kegiatan menghadirkan dhalang wayang kulit yang ada di sekitar sekolah secara virtual (melalui zoom meeting) untuk membeberkan sisi akhlakul karimah dari wayang kulit sehingga mendorong warga sekolah untuk belajar akhlakul karimah dari wayang kulit. 2) Memprogramkan kegiatan “nobar” menonton bareng pertunjukan wayang kulit melalui channel youtube. 3) Memprogramkan literasi baca buku cerita wayang kulit. Beberapa hal yang diharapkan diperoleh dari “Pro-Yayang” dirangkumkan sebagai berikut.
Bahwa seni pertunjukan wayang kulit ialah salah satu harta qorun yang teramat berharga dalam hamparan luas dan dalamnya lautan kebudayaan milik masyarakat Jawa, pada khususnya, dan masyarakat Indonesia, pada umumnya. Pada konteks itu sesuai dengan pendapat Selo Sumardjan (1976), kebudayaan adalah hasil dari cipta rasa dan karsa manusia yang dengan demikian, dapat dikatakan bahwa muara dari tujuan kebudayaan adalah untuk mengangkat harkat-martabat manusia.
Harkat dan martabat manusia yang manakah yang berada pada posisi terangkat atau pada maqom mulia atau pada level luhur itu? Innamabuistu liutammima ma karimal akhlaq (HR. Abu Hurairah RA), demikian rosululloh —Muhammad SAW, mengatakan bahwa tiada aku diutus ke dunia kecuali untuk menata budi pekerti atau akhlak manusia. Karena budi pekertilah sesungguhnya energi utama dari harkat dan martabat manusia. Sehingga dalam konteks inilah, Wayang Kulit jika dikelola dengan benar, maka ia akan menemukan perannya yang sangat tepat, yang sangat cantik dan yang sangat strategis.
Bahwa wayang kulit, sebagai seni pertunjukan, bisa menjadi tontonan sekaligus tuntunan, dan juga bisa sebaliknya, merupakan tuntunan sekaligus tontonan. Ia bisa bagai magnet yang selalu bergesekan dengan massa. Dan, ia bisa bagai guru yang selalu membimbing muridnya dengan sabar.
Memang, dalam beberapa segi, wayang kulit pada pergumulan era globalisasi dan pada trend selera masyarakat dunia yang serba instant ini, jika ia bagai orang berjalan, maka ia tampak terseok-seok, jika ia bagai orang berlari, maka ia tampak terengah-engah kecapaian. Namun tanpa bermaksud menghilangkan jati diri (pakem) Wayang Kulit, justru itulah tantangan yang harus kita jawab, dan justru itulah tawaran yang harus kita beli dengan redinamisasi Wayang Kulit..
Sedikitnya ada dua hal krusial yang harus kita hadapi dengan lapang dada dan kreatif. Pertama, bagaimana supaya masyarakat bangsa Jawa, pada khususnya, dan masyarakat bangsa Indonesia, pada umumnya, bahkan pada mata dunia, kembali gandrung dan kangen dengan Wayang Kulit. Kedua, bagaimana supaya tuntunan tentang budi pekerti luhur yang dimisikan oleh Wayang Kulit bisa dicerna dengan mulus dan dianggit dengan terang-benderang untuk dilaksanakan dengan ikhlas oleh para pemirsanya.
Sudah saatnya, bagi para pengelola Wayang Kulit atau fihak terkait lainnya, untuk terus-menerus berkreasi, mengkolaborasikan dengan tepat antara pakem Wayang Kulit dengan teknologi modern dan seni-seni lain yang menjadi trend masa kini. Kemudian, tanpa menghilangkan keindahan pakem Wayang Kulit pula, sudah saatnyalah bagi para pengelola dan fihak terkait lainnya untuk sedikit membuka tabir bahasa symbol, bahasa tingkat tinggi atau bahasa “langit” dari Wayang Kulit itu sendiri, ke dalam bahasa yang lebih komunikatif bagi masyarakat pemirsa masa kini.
Sebab, harus kita akui, bahwa kompetensi bahasa Jawa yang dimiliki masyarakat kita, masyarakat bangsa Jawa sekalipun ini, telah mengalami kesenjangan yang luar biasa , —untuk tidak dikatakan “sangat samburadul”, dengan bahasa pakem Wayang Kulit.
Intinya, Wayang Kulit atau Ringgit Purwa adalah sebuah ajaran budi pekerti luhur yang harus kita sikapi dengan cerdas. Secara terminology, Ringgit merupakan akronim dari kata: Miring dan Anggit. Miring berarti tidak tegak lurus. Sedangkan Anggit berarti “Cipta”. Jadi, Ringgit berarti: dicipta dalam bentuk yang miring atau belum terus-terang. Selanjutnya, wayang, berarti bayangan. Dan, kulit, berarti yang kita lihat adalah kulit belaka. Karenanya, pada akhir pertunjukan selalu disusul dengan keluarnya “Golek”. Bahwa apa yang telah kita resapi di dalam pertunjukan Wayang Kulit seharusnya segeralah kita cari makna yang tersirat di dalamnya. Sebab apa? Wujud yang sebenarnya dari lakon yang terbeber, tiada lain dan tiada bukan pula ialah terletak di balik “Kelir” (tabir), alias di hamparan dunia nyata sehari-hari kita.
Dan, itulah beberapa daya tarik, sekaligus kendala-kendala bagi keagungan Wayang Kulit yang harus kita jawab dengan kreatif itu. Semoga dengan niat tulus dan kerja keras kita semua, Wayang Kulit semakin menemukan perannya yang hebat, anggegulang alusing budi endahing pakarti (menciptakan halusnya budi indahnya pekerti), senafas dengan tagline SD Negeri Koripandriyo: “manungsung luhuring budi”. Salam!***