Endang Pudji DREndang Pudji DR

Endang Pudji DR

Oleh: Endang Pudji DR*

Lirik lagu “Kitir Sumilir” sungguh menggoda hati untuk menikmatinya. Diiringi musik keroncong mendayu-dayu, membawa hati ini semakin dalam menikmati lagu ini. Sebagai seorang pernikmat lagu Jawa syair lagu ini sangat menggugah jiwa. Selain mengandung makna yang cukup dalam, lagu “Kitir Sumilir” juga mengandung purwaknathi (Jawa: merupakan rima atau alunan bunyi yang sama pada beberapa kata dalam Sastra Jawa dan Sastra Sunda Purwakanthi berasal dari kata pura artinya awalan dan kanthi yang berarti menggandeng atau mengulang yang telah disebut di awal).

 

Kitir Sumilir

(Cipt: Ki Gedug Siswantoro)

Angenku ngamboro anembus mego Ngitung lintang sesuluh padhang rembulan Tak goleki ono ngendi si panjer rino

Tak titipi kidung keketeging jantung 

Lelungitan lunglungan kang rerambatan Amurasa swara-swara angrakit jiwanggo

Tak kirimi layang kitir tak sampirke angin sumili Po ra krosa sliraMu tansah tak pikir

Rino wengi wewayangmu mbedo atiku Singo tirto sak upama kapan boyo aku bisa

Nggegem lintang nggrengkuh endahing rembulan

Aku samar kuatir lamun to yen cabar

Sekar mekar ing oro-oro kang cengkar

Ngelak kang tanpo upama nunggu tumetesing tirta Kanggo nelesi lungka-lungka ketiga

 

Menurut penuturan Ki Geduk Siswantoro, pencipta lagu ini, lagu ini terinspirasi bermula dari seorang temannya yang dalam kehiduan telah melakukkan dosa besar. Ia telah menjalani dosa lengkap, ma limo (jawa: main (berjudi),madon (bermain perempuan), maling (mencuri), minum (minum minuman keras), madat(candu)) .

Akhirnya ia menyadari bahwa apa yang dilakukan dalam hidup tidak memberi ketenteraman apalagi kebahagiaan. Ia sadar dan menjalani hari-harinya dengan bertaubat. Jadi lagu ini berisi tentang orang yang bermunajad, berdoa kepada Alloh, mengingat dosa-dosa yang telah dilakukan. Ia berdoa dan menengadahkan tangan memohon ampunan Alloh . Ini terlihat pada bait berikut.

Angenku ngamboro nembus mego Ngitung lintang sesuluh padang rembulan Tak goleki ono ngendi si panjer rino

Tak titipi kidung keketeging jantung

(Pada bait ini , sang pendosa merasa dirinya terbelenngu oleh dosa-dosanya, dan ia pasrah kepada yang Maha Kuasa)

Lelungitan lunglungan kang rerambatan ( tumbuhan yang berduri mengikat /membelenggu}

Amurazsa swara angrakit jiwanggo (diri sang pendosa merasa terbelenggu oleh dosa-dosanya)

Tak kirimi layang kitir tak sampirke angin sumilir ( pasrah kepada yang kuasa atas dosa-dosanya yang telah lalu)

Po ra krosa sliriaMu tansah tak piker (Setiap hari ingat kepada Tuhan)

Rino wengi wewayangmu mbedo atiku ( Setiap hari sang pendosa ingat Tuhannya)

Singo tirto sak upama kapan boyo aku biso (Sang pendosa bertanya-tanya kapankah bisa mencapai pengampunan)

Nggegem lintang nggrengkuh endahing rembulan ( bisa mencapai hidayah dan merasakan bahagia karena mendapat ampunan)

Aku samar kuwatir lamun to cabar (Sang pendosa merasa khawatir kalau munajadnya gagal)

Sekar mekar ing oro-oro kang cengkar ( bunga mekar di tanah yang tandus)

Ngelak kang tanpo upama nunggu tumeteing tirta (haus yang sangat dan tak bisa dilukiskan menunggu jatuhnya air penyejuk jiwa= hidayah)

Kanggo nelesi lungka-lungka ketiga (untuk menyiram jiwa yang haus dan merindukan hidayah)

Bait terakhir ini menggambarkan betapa sang pendosa dengan penuh harap dan khawatir bila gagal pengampunan itu, ia menunggu hidayah.

Lagu ini bersifat universal karena berkaitan dengan hakikat hubungan manusia dengan Tuhan. Setiap manusia pada dasarnya memiliki dosa dan ingin kembali minta ampun kepada yang Maha Kuasa.

Dengan menyelami lagi ini kita bisa merenung lebih dalam. Bila sang pendosa dapat mencapai penataan hati yang demikian lembut, pantaskah kita berbangga diri dan penuh keyakinan bahwa kita adalah manusia yang bersih dari dosa? Bukankah seharusnya syair ini sebenarnya berlaku untuk kita semua, yang setiap saat masih terbelenggu oleh gebyaring ndonya ( gebyar dunia) yang penuh kepalsuan? Apakah harus menunggu menjadi seorang pendosa untuk “mengakui” dalamnya makna Kitir Sumilir dalam hati kita? Atau jangan-jangan sebenarnya lagu ini adalah untuk kita yang sebenarnya adalah sang pendosa itu?

Selain itu kita bisa memaknai bahwa untuk menjadi jiwa yang dekat dengan Tuhan tidak selamanya harus dikemas dalam balutan lahiriah yang menunjukan kereligiusan seseorang. Dengan berkesenian manusia dapat mengungkapkan rasa cintanya kepada Tuhan. Bahwa berdakwah untuk memperbaiki diri tidak harus memalui panggung dakwah dengan tabligh akbar. Seniman dapat menyentuh hati para penikmat hasil karyanya dengan lirik lagu yang lembut menyentuh jiwa. Keindahan bunyi

/rima/purwokanthi yang tertata lembut meliuk-liuk menambah nikmat indahnya sastra yang tercipta. Selain menimbulkan keindahan bunyi yang terdengar juga menunjukkan betapa dalam makna yang tersirat.

Tujuan penciptaan lagu ini adalah untuk mengungkapkan rasa penyesalan akan dosa. Rasa khawatir bila dosa-dosa tidak diampuni. Meskipun demikian Ki Gedug Siswantoro tidak menyalahkan bila lagu ini dimaknai sebagai sebuah cerita orang yang sedang jatuh cinta. Sebuah kesengajaan dari pencipta lagu ini dikemas dalam syair cinta. Padahal cinta yang hendak diungkapkan dalam lagu ini adalah cinta sang pendosa kepada Sang Pencipta. Semoga kita semakin mencintai para pujangga yang dengan ketulusan dan kelembutan hatinya menitipkan nasihat lewat karya-karyanya. Bahasa Jawa yang adiluhung dirangkai penuh kehalusan tata bahasa sehingga melahirkan keindahan sastra sekaligus mengukir keindahan jiwa baik sang pencipta lagu maupun yang berkesempatan menikmatinya.

Demak, 19 Agustus 2024

*Penulis : Guru Bahasa Indonesia di SMP N 1 Demak

Tinggalkan Balasan